Selasa, 24 Januari 2012

MELURUSKAN STATUS PAPUA

Salah satu isu pokok yang hingga saat ini masih terus dipermasalahkan oleh sebagian masyarakat Papua yang berseberangan dengan NKRI (Kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka/OPM) adalah sejarah integrasi Papua ke dalam   wilayah  Indonesia,  yang  telah  ditetapkan  melalui  Penentuan  Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 dan sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2504, pada 19 November 1969.
Tetapi, kalangan pendukung separatis Papua seperti OPM, KNPB (Komite Nasional Papua Merdeka) dan ILWP (International Lawyer for West Papua) terus mempermasalahkan dan bahkan menggugat keabsahan Pepera 1969, yang dinilai sebagai proses self-determination cacat, karena  tidak adanya sistem one man one vote.
Padahal bila dicermati, argumentasi yang disampaikan pendukung separatis Papua adalah lemah dan kurang tepat, karena self-determination bagi suatu bangsa hanya dapat dilakukan satu kali dan untuk semua (once and for all). Bagi Indonesia, self-determination telah dilakukan 17 Agustus 1945, ketika proklamator menyatakan kemerdekaan Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Sedangkan tidak adanya sistim one man one vote dalam Pepera 1969, karena dalam perjanjian New York 1962 ketika itu, tidak pernah menyebutkan mekanisme one man one vote.
Hal ini juga sejalan dengan kandungan isi resolusi Sidang Majelis Umum PBB 1514 (1960) dan 1541 (1960) tentang dekolonisasi, yang tidak mensyaratkan adanya sistem one man one vote. Hal ini tidak hanya berlaku bagi Papua, tetapi juga di banyak Negara, seperti di beberapa negara Afrika.  Sabah dan Serawak juga masuk Malaysia tanpa one man one vote, tapi hanya lewat sertifikasi Tim PBB.
Selain itu, alasan etnisitas orang Papua yang termasuk etnis Melanesia (dinilai berbeda dengan etnis orang Indonesia) juga dijadikan alat untuk menjustifikasikan pemisahan Papua dari Indonesia. Padahal kita tahu didunia ini tidak ada satu pun bangsa dan negara yang sepenuhnya memiliki homogenitas etnis dan kultural. Sehingga ciri-ciri fisik yang berbeda dari suku-suku bangsa Indonesia lainnya, tidak bisa dijadikan tesis bahwa orang Papua secara alamiah bukan orang Indonesia, dan karena itu berhak untuk merdeka. 
Apalagi Negara Indonesia menganut semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti“Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Nasionalisme Indonesia pada dasarnya juga bercirikancivic nationalism dan bukannya ethnic nationalism. Dalam pengertian ini, maka civic nationalism juga berlaku di berbagai Negara dunia, di mana keanekaragaman  masyarakat  dari segi budaya, warna kulit, agama, latar belakang sejarah, bahkan keyakinan politik sekalipun, tidak menghalangi mereka untuk hidup bersama sebagai satu bangsa.
Sebagai bangsa yang besar dan masih dalam proses pembangunan, menuju kehidupan yang lebih baik, harus diakui bahwa Negara kita masih dihadapkan dengan berbagai persoalan, termasuk kesenjangan. Bukan hanya rakyat dan Provinsi Papua saja yang menghadapi sejumlah persoalan, tetapi juga di provinsi-provinsi Indonesia lainnya. Oleh sebab itu, yang penting sebagai sesama anak bangsa, kita harus optimis dan bersatu untuk mampu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa secara adil, bermartabat, dan tetap dalam bingkai NKRI. Kita harus mampu menjadi bagian dari solusi, bukan justru menambah beban permasalahan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar