Selasa, 30 April 2013

PAPUA SIAPA YANG PUNYA



Ranah Papua adalah milik warga Papua, milik warga negara Indonesia. Sejarah sudah mencatat, jauh sebelum Sumpah Pemuda yang menyatukan tekad satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Indonesia dan rakyat Papua sudah lama menggunakan bahasa Indonesia (Melayu). Bahkan, 117 tahun sebelum Indonesia Merdeka, Papua sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari Indonesia (Hindia Belanda). Yakni, ketika Papua dibawah naungan Kerajaan Ternate yang menjadi bagian penting Hindia Belanda kala itu.
Seorang tokoh Papua, Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi menegaskan, bahwa Papua sebagai bagian tidak terpisahkan dari NKRI, tidaklah terbantahkan. Karenanya, sikap sekelompok masyarakat Papua yang mengingkari kenyataan tersebut tidaklah patut diteruskan. Terlebih, kalau tekad memisahkan diri tersebut semata-mata karena ditunggangi kepentingan asing.
Sikap ingin 'merdeka' yang dituntut rakyat Papua, bukanlah hal yang haram. Namun, merdeka yang dimaksud disini adalah merdeka dari kemiskinan, kebodohan, kertinggalan, dan merdeka dari segala macam penindasan dengan tetap dalam bingkai NKRI. Lantas bagaimana rakyat Papua bisa merdeka dari kemiskinan dan kebodohan?
Wacana dialog yang dikembangkan belakangan ini, bisa jadi merupakan salah satu jalan keluar menyelesaikan konflik di Papua. Setidaknya, dialog antar  berbagai  pihak (pemerintah  pusat  dengan warga Papua, warga Papua dengan warga Papua yang beda paham bisa jadi akan memecah kebuntuan komunikasi yang terjadi sejauh ini. Namun, jauh lebih penting dari itu adalah “Tegakkan dan laksanakan hukum di Papua”.
Mulailah dari pemberian penghargaan kepada rakyat Papua. Namun, peluang itu harus diwujudkan dalam bentuk nyata dan bukan hanya slogan. Pemerintah pusat telah memberikan contoh positif,  ketika dimasa Presiden Gus Dur, rakyat diberi janji dan langsung dilaksanakan yakni saat rakyat Papua diberi kebebasan menyebut diri Papua sebagai ganti Irian Barat. Namun, kebebasan itu tetap dalam kerangka NKRI.
Selanjutnya, tonggak penting lain adalah manakala pemerintah pusat menerapkan Otonomi Khusus Papua. Sayang, otonomi khusus itu dalam pelaksanaannya tidak dikelola dengan baik oleh pemda setempat. Selain  banyak terjadi kebocoran keuangan yang dikorupsi, sebab lain adalah hingga saat ini aturan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua belum ada setelah beberapa tahun diterapkan. Akibatnya, Otonomi Khusus berjalan tanpa panduan baku, Otonomi Khusus Papua akhirnya berjalan dengan tafsir berbeda-beda. Hasilnya, sudah tentu Otonomi Khusus masih belum memuaskan warga.
Memakmurkan rakyat Papua sudah seharusnya dimulai dari rakyat Papua sendiri. Memberi kebebasan mereka mengatur diri sendiri lewat Otonomi Khusus Papua. Namun, tentu saja aturan pelaksanaan Otonomi Khusus tersebut harus dibuat, untuk kemudian dilaksanakan sebaik-baiknya.
Sebagai penguasa, pemerintah pusat sah-sah saja memberi arahan, karena itu  adalah  hak  pemerintah.  Dan,  selama  warga Papua  mampu mengatur dirinya sendiri dan tidak melenceng dari bingkai NKRI, maka itulah awal dari kedamaian yang kita dambakan bersama untuk tetap melanjutkan pembangunan dalam menuju kesejehtaraan yang bermartabat dan demokratis.