Separatisme adalah suatu gerakan untuk
mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah
atau kelompok manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional
yang tajam) dari
satu dengan lainnya (atau
suatu Negara lain). Gerakan separatis bisa berupa gerakan damai atau dilakukan dengan gerakan
bersenjata dan tindakan teror yang bertujuan untuk menciptakan suatu kondisi
tidak aman terhadap suatu daerah atau negara tertentu.
Banyak negara di dunia
ini yang masih mempunyai gerakan separatis. Bukan hanya di Asia namun juga di Eropa dan
Amerika selatan, seperti di Philipina, Irlandia Utara, bahkan negara kita sendiri, Indonesia. Gerakan
separatis jarang sekali dilakukan dengan secara damai, kebanyakan dari kegiatan
para separatis dilakukan dengan cara-cara kekerasan bersenjata dan menebarkan
teror kepada masyarakat dan berusaha untuk menghasut agar masyarakat mengikuti
keinginan politik mereka.
Demikian juga yang saat ini
terjadi di Tanah Papua. Gerakan separatis di Papua
menamakan diri Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dari penyebutan namanya
saja sudah jelas tujuan mereka yakni akan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan memerdekakan Papua sebagai suatu negara
yang berdiri sendiri.
Menilik sejarah
bersatunya Papua kedalam NKRI, kita semua tahu bahwa
masuknya Papua menjadi bagian NKRI atas dasar hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dan sah sesuai “New York Agreement” 1962. Pepera ini
pun sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2505 pada
tanggal 19 November 1969. Ini berarti kembalinya Papua ke pangkuan Indonesia
sudah didukung penuh oleh masyarakat Internasional dan PBB.
Dari dasar tersebut sudah
merupakan bukti otentik yang tidak terbantahkan bahwa Papua merupakan bagian
dari NKRI. Namun dari kalangan segelintir orang Papua yang ingin memisahkan
diri dan merdeka sebagai negara sendiri, bukti-bukti tersebut dianggap tidak
sah, mereka berpendapat bahwa hasil
Pepera tahun 1962 tidak mencerminkan kehendak rakyat Papua secara keseluruhan
dan tidak relevan lagi dengan kondisi Papua saat ini.
Apapun yang mereka
katakan, hasil Pepera yang diperkuat dengan hasil sidang Majelis Umum
PBB melalui resolusi 2505 tanggal 19 Nopember 1969 sudah lebih dari cukup untuk
menunjukkan kepada masyarakat internasional
dan rakyat Papua sendiri bahwa bersatunya Papua ke dalam NKRI sah secara de facto dan de jure.
Upaya sebagian kelompok
masyarakat di Papua dan LSM yang bersuara lantang memperjuangkan kondisi Papua
sangat disayangkan. LSM tersebut justru
sengaja mengangkat dan
mengeksploitasi isu pelanggaran
HAM, guna mendiskreditkan
aparat keamanan. Karena LSM ini sama-sekali tidak menyadari adanya
bahaya/ancaman separatisme di Papua. Bahkan mereka
kemungkinan memiliki kerjasama mutualisme untuk memperoleh keuntungan demi
kepentingannya.
Serangkaian insiden kekerasan yang masih
sering terjadi sungguh mengkhawatirkan kita semua, sehingga insiden sekecil
apapun yang bernuansa separatisme tidak boleh dipandang sebagai masalah sepele.
Kita harus ingat bahwa ideologi separatisme Papua adalah berjuang untuk
memisahkan diri dari NKRI. Mereka tidak hanya berjuang pada tataran politik dan
diplomasi saja, tetapi juga melaksanakan aksi kekerasan bersenjata dengan
sasaran masyarakat, aparat keamanan dan obyek sipil strategis.
Kondisi ini tentunya menjadi tanggung jawab
bagi aparat keamanan, baik TNI maupun Polri untuk mampu menangani secara professional,
sekaligus persoalan berat yang harus dihadapi mereka sendiri. Karena aparat
keamanan, disamping harus tetap waspada untuk
menjaga dirinya dari kemungkinan serangan kelompok separatis, juga harus
mampu melindungi masyarakat sipil. Pengalaman menunjukkan, aparat keamanan juga
telah menjadi korban keganasan dari separatis Papua, terutama aparat keamanan
yang bertugas di pos-pos terpencil dan perbatasan.
Oleh sebab itu, keberadaan pasukan TNI
dan Polri di Papua tetap masih dan sangat dibutuhkan sebagai penjaga
keamanan Papua, yang tentu saja dengan tetap menjujung
tinggi HAM dan bertindak profesional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar