Selasa, 14 Mei 2013
Selasa, 07 Mei 2013
PAPUA BAGIAN NKRI TAK TERBANTAHKAN
Beberapa hari terakhir ini khususnya
memasuki bulan Mei 2013 Papua kembali menjadi soroton. Dimana kita dikejutkan sebuah berita adanya pembukaan kantor kampanye Free West Papua di Oxford mendapat
protes keras dari pemerintah Indonesia, karena dianggap mengganggu kestabilan
negara. Pemerintah Indonesia telah memanggil Duta Besar Inggris di Jakarta untuk
memerotes keras pembukaan kantor Organisasi Papua Merdeka (OPM) bernama Free West Papua di kota Oxford.Jurubicara
Kementerian Luar Negeri Indonesia, Michael Tene, mengatakan pemerintah Inggris
selalu menegaskan dukungannya terhadap kedaulatan Indonesia dan menolak gerakan
separatisme di Papua.
Sebenarnya Papua, sama seperti wilayah-wilayah
lainnya di nusantara, adalah sebuah wilayah yang kaya akan sumber daya alam.
Maka tidaklah mengherankan, di era krisis energi sekarang, banyak pihak yang
berebutan untuk menguasai sebanyak-banyaknya kekayaan. Papua adalah salah satu
rujukannya. Suka atau tidak suka, Papua adalah bagian integral negara Republik
Indonesia. Sudah sah menjadi bagian NKRI sejak mula Indonesia merdeka, 17
Agustus 1945. Apalagi diperkuat dengan adanya kesepakatan antara Pemerintah RI
dan Kerajaan Kolonial Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Belanda secara
resmi telah menyerahkan kedaulatan atas seluruh wilayah jajahannya kepada
Pemerintah Indonesia, dari Sabang hingga Merauke.
Delegasi RI saat itu, Mochammad Hatta
menandatangani perjanjian dengan Ratu Juliana, yang pada intinya Belanda harus
hengkang dari NKRI. Upacara penyerahan kedaulatan di Jakarta diwakili oleh Sri
Sultan Hamengku Buwono IX selaku Wakil Perdana Menteri RI dan Utusan Kerajaan
Kolonial Belanda, Tony Lovink. Fakta sejarah ini mempertegas segala bentuk
kesesatan berpikir tentang kemerdekaan Papua secara separatis, yang diprovokasi
Kerajaan Kolonial Belanda pada 1 Desember 1961. Mereka lupa, terhitung delapan
bulan sejak deklarasi tersebut, tepatnya 15 Agustus 1962, Belanda justru
terlibat dalam perundingan New York dan menandatangani New York Agreement untuk menyerahkan kembali Irian Barat ke dalam pangkuan
NKRI.
Agar
Belanda tidak kehilangan muka, teknis penyerahannya diatur tidak secara
langsung dari Belanda kepada Pemerintah Indonesia, tetapi melalui PBB. Maka dibentuklah suatu Badan Pelaksana
Sementara PBB yang diberi nama United Nations Temporary Executive Authority
(UNTEA). Badan ini berada di bawah kekuasaan Sekretaris Jenderal PBB. Dan pada
tanggal 1 Mei 1963 UNTEA menyerahkannya kepada Pemerintah Indonesia. Momentum inilah yang kemudian dikenal
dalam sejarah sebagai (re)integrasi Papua ke dalam NKRI hinga kini. Ingin tahu perkambangan aceh kunjungi http:bukanacehmerdeka.blogspot.com
Senin, 06 Mei 2013
PEMBUKAAN KANTOR OPM DI INGGRIS ADALAH PROVOKASI
Beberapa waktu yang lalu hubungan Diplomasi Indonesia
’sedikit’ memanas dengan Kerajaan Inggris berkaitan dengan dibukanya
Kantor Perwakilan OPM di Oxford, Inggris. Pembukaan tersebut dalam
hal ini Indonesia lah yang merasa dirugikan secara kedaulatan. Pada sisi lain
Inggris dianggap bermuka dua setelah beberapa tahun Inggris tidak mendukung
OPM namun mengizinkan adanya pembukaan kantor OPM. Tapi secera resmi pemerintah
melalui pemberitaan media manyatakan bahwa pembukaan kantor perwakilan Organisasi
Papua Merdeka di Oxford bukan mewakili sikap resmi pemerintah Inggris.
Secara
kedaulatan, langkah yang diambil pemerintah RI sudah tepat dengan melakukan potes
secera resmi kepada pemrintah Inggris. Apakah hal itu akan menyelesaikan
masalah? Nampaknya masih banyak pihak di Indonesia yang merasa kurang puas,
terlebih apabila Benny Wenda masih meneruskan perjuangannya untuk mendapatkan
hak kemerdekaan bagi Papua sendiri. Papua adalah milik Indonesia, dan itulah kata
sepakat yang tak boleh ditawar lagi. Terlebih, Papua sendiri yang terkenal dengan
tambang emasnya bagi sebagian orang menjadi sebuah ‘asset’ yang sekiranya
sangat layak dipertahankan.
Kita perlu pemahaman yang lebih dalam, bahwa upaya
mempertahankan Papua bukan karena mereka mempunyai tambang emas disana.
Mereka bukanlah sapi perahan. Mereka adalah saudara sebangsa dan setanah
air. Itu point pertama yang harus
dimengerti dan dipahami dalam
menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di bumi cendrawasih tersebut. Yang
kedua, apa yang sudah kita lakukan sebagai bangsa Indonesia untuk membuat
mereka merasakan disana sudah nyaman. Jika belum pemerintah harus segera membenahi dan menyempurnakannya karena rakyat Papua mereka adalah memang anak bangsa? Bukan hanya sapi perahan
saja.
Tentu, peristiwa pembukaan kantor OPM di Inggris tidak menafik bahwa ada dugaan sokongan
pihak asing yang ingin menggerogoti kedaulatan negara Indonesia sendiri. Harus diakui juga secara
fakta bahwa masih banyak
warga Papua yang mencintai Indonesia tanpa pamrih. Mereka tetap bangga akan
Merah Putih. Lalu bagaimana dengan kita? Apa yang sudah kita lakukan?
Terlepas
dari hubungan diplomatik negara, penulis merasa pembukaan kantor Organisasi
Papua Merdeka di Oxford mungkin Inggris sangat diragukan lagi komitmennye
terhadap Indonesia. Yang perlu kita
lakukan sekarang adalah harus lebih mawas diri dari segala bentuk
kemunafikan negara-negara sahabat lainnya.
Selasa, 30 April 2013
PAPUA SIAPA YANG PUNYA
Ranah Papua adalah milik warga Papua,
milik warga negara Indonesia. Sejarah sudah mencatat, jauh sebelum Sumpah
Pemuda yang menyatukan tekad satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa.
Indonesia dan rakyat Papua sudah lama menggunakan bahasa Indonesia (Melayu).
Bahkan, 117 tahun sebelum Indonesia Merdeka, Papua sudah menjadi bagian tidak
terpisahkan dari Indonesia (Hindia Belanda). Yakni, ketika Papua dibawah
naungan Kerajaan Ternate yang menjadi bagian penting Hindia Belanda kala itu.
Seorang tokoh Papua, Laksamana Madya
TNI (Purn) Freddy Numberi menegaskan, bahwa Papua sebagai bagian tidak
terpisahkan dari NKRI, tidaklah terbantahkan. Karenanya, sikap sekelompok
masyarakat Papua yang mengingkari kenyataan tersebut tidaklah patut diteruskan.
Terlebih, kalau tekad memisahkan diri tersebut semata-mata karena ditunggangi
kepentingan asing.
Sikap ingin 'merdeka' yang dituntut
rakyat Papua, bukanlah hal yang haram. Namun, merdeka yang dimaksud disini
adalah merdeka dari kemiskinan, kebodohan, kertinggalan, dan merdeka dari
segala macam penindasan dengan tetap dalam bingkai NKRI. Lantas bagaimana
rakyat Papua bisa merdeka dari kemiskinan dan kebodohan?
Wacana dialog yang dikembangkan belakangan
ini, bisa jadi merupakan salah satu jalan keluar menyelesaikan konflik di
Papua. Setidaknya, dialog antar
berbagai pihak (pemerintah pusat
dengan warga Papua, warga Papua dengan warga Papua yang beda paham bisa
jadi akan memecah kebuntuan komunikasi yang terjadi sejauh ini. Namun, jauh
lebih penting dari itu adalah “Tegakkan dan laksanakan hukum di Papua”.
Mulailah dari pemberian penghargaan
kepada rakyat Papua. Namun, peluang itu harus diwujudkan dalam bentuk nyata dan
bukan hanya slogan. Pemerintah pusat telah memberikan contoh positif, ketika dimasa Presiden Gus Dur,
rakyat diberi janji dan langsung dilaksanakan yakni saat rakyat Papua diberi
kebebasan menyebut diri Papua sebagai ganti Irian Barat. Namun, kebebasan itu
tetap dalam kerangka NKRI.
Selanjutnya, tonggak penting lain
adalah manakala pemerintah pusat menerapkan Otonomi Khusus Papua.
Sayang, otonomi khusus itu dalam pelaksanaannya tidak dikelola dengan baik
oleh pemda setempat. Selain banyak
terjadi kebocoran keuangan yang dikorupsi, sebab lain adalah hingga saat ini
aturan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua belum ada setelah beberapa tahun
diterapkan. Akibatnya, Otonomi Khusus berjalan tanpa panduan baku, Otonomi
Khusus Papua akhirnya berjalan dengan tafsir berbeda-beda. Hasilnya, sudah
tentu Otonomi Khusus masih belum memuaskan warga.
Memakmurkan rakyat Papua sudah
seharusnya dimulai dari rakyat Papua sendiri. Memberi kebebasan mereka mengatur
diri sendiri lewat Otonomi Khusus Papua. Namun, tentu saja aturan pelaksanaan
Otonomi Khusus tersebut harus dibuat, untuk kemudian dilaksanakan
sebaik-baiknya.
Sebagai penguasa, pemerintah pusat
sah-sah saja memberi arahan, karena itu
adalah hak pemerintah. Dan, selama warga Papua mampu mengatur dirinya sendiri dan tidak
melenceng dari bingkai NKRI, maka itulah awal dari kedamaian yang kita dambakan
bersama untuk tetap melanjutkan pembangunan dalam menuju kesejehtaraan yang
bermartabat dan demokratis.
Langganan:
Postingan (Atom)