Ranah Papua adalah milik warga Papua,
milik warga negara Indonesia. Sejarah sudah mencatat, jauh sebelum Sumpah
Pemuda yang menyatukan tekad satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa.
Indonesia dan rakyat Papua sudah lama menggunakan bahasa Indonesia (Melayu).
Bahkan, 117 tahun sebelum Indonesia Merdeka, Papua sudah menjadi bagian tidak
terpisahkan dari Indonesia (Hindia Belanda). Yakni, ketika Papua dibawah
naungan Kerajaan Ternate yang menjadi bagian penting Hindia Belanda kala itu.
Seorang tokoh Papua, Laksamana Madya
TNI (Purn) Freddy Numberi menegaskan, bahwa Papua sebagai bagian tidak
terpisahkan dari NKRI, tidaklah terbantahkan. Karenanya, sikap sekelompok
masyarakat Papua yang mengingkari kenyataan tersebut tidaklah patut diteruskan.
Terlebih, kalau tekad memisahkan diri tersebut semata-mata karena ditunggangi
kepentingan asing.
Sikap ingin 'merdeka' yang dituntut
rakyat Papua, bukanlah hal yang haram. Namun, merdeka yang dimaksud disini
adalah merdeka dari kemiskinan, kebodohan, kertinggalan, dan merdeka dari
segala macam penindasan dengan tetap dalam bingkai NKRI. Lantas bagaimana
rakyat Papua bisa merdeka dari kemiskinan dan kebodohan?
Wacana dialog yang dikembangkan belakangan
ini, bisa jadi merupakan salah satu jalan keluar menyelesaikan konflik di
Papua. Setidaknya, dialog antar
berbagai pihak (pemerintah pusat
dengan warga Papua, warga Papua dengan warga Papua yang beda paham bisa
jadi akan memecah kebuntuan komunikasi yang terjadi sejauh ini. Namun, jauh
lebih penting dari itu adalah “Tegakkan dan laksanakan hukum di Papua”.
Mulailah dari pemberian penghargaan
kepada rakyat Papua. Namun, peluang itu harus diwujudkan dalam bentuk nyata dan
bukan hanya slogan. Pemerintah pusat telah memberikan contoh positif, ketika dimasa Presiden Gus Dur,
rakyat diberi janji dan langsung dilaksanakan yakni saat rakyat Papua diberi
kebebasan menyebut diri Papua sebagai ganti Irian Barat. Namun, kebebasan itu
tetap dalam kerangka NKRI.
Selanjutnya, tonggak penting lain
adalah manakala pemerintah pusat menerapkan Otonomi Khusus Papua.
Sayang, otonomi khusus itu dalam pelaksanaannya tidak dikelola dengan baik
oleh pemda setempat. Selain banyak
terjadi kebocoran keuangan yang dikorupsi, sebab lain adalah hingga saat ini
aturan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua belum ada setelah beberapa tahun
diterapkan. Akibatnya, Otonomi Khusus berjalan tanpa panduan baku, Otonomi
Khusus Papua akhirnya berjalan dengan tafsir berbeda-beda. Hasilnya, sudah
tentu Otonomi Khusus masih belum memuaskan warga.
Memakmurkan rakyat Papua sudah
seharusnya dimulai dari rakyat Papua sendiri. Memberi kebebasan mereka mengatur
diri sendiri lewat Otonomi Khusus Papua. Namun, tentu saja aturan pelaksanaan
Otonomi Khusus tersebut harus dibuat, untuk kemudian dilaksanakan
sebaik-baiknya.
Sebagai penguasa, pemerintah pusat
sah-sah saja memberi arahan, karena itu
adalah hak pemerintah. Dan, selama warga Papua mampu mengatur dirinya sendiri dan tidak
melenceng dari bingkai NKRI, maka itulah awal dari kedamaian yang kita dambakan
bersama untuk tetap melanjutkan pembangunan dalam menuju kesejehtaraan yang
bermartabat dan demokratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar