Salah satu isu pokok yang hingga saat
ini masih terus dipermasalahkan oleh sebagian masyarakat Papua yang
berseberangan dengan NKRI (Kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka/OPM)
adalah sejarah integrasi Papua ke dalam wilayah
Indonesia, yang telah ditetapkan melalui Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera) pada 1969 dan sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui
Resolusi 2504, pada 19 November 1969.
Tetapi, kalangan pendukung separatis
Papua seperti OPM, KNPB (Komite Nasional Papua Merdeka)
dan ILWP (International Lawyer for West Papua) terus mempermasalahkan dan bahkan menggugat keabsahan Pepera 1969, yang
dinilai sebagai proses self-determination cacat, karena tidak
adanya sistem one man one vote.
Padahal bila
dicermati, argumentasi yang disampaikan pendukung
separatis Papua adalah lemah dan kurang tepat, karena self-determination bagi
suatu bangsa hanya dapat dilakukan satu kali dan untuk semua (once and for
all). Bagi Indonesia, self-determination telah dilakukan 17 Agustus 1945, ketika proklamator menyatakan
kemerdekaan Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Sedangkan tidak adanya
sistim one man one vote dalam Pepera 1969, karena dalam
perjanjian New York 1962 ketika itu, tidak pernah
menyebutkan mekanisme one man one vote.
Hal ini juga sejalan dengan kandungan
isi resolusi Sidang Majelis Umum PBB 1514 (1960) dan 1541 (1960) tentang
dekolonisasi, yang tidak mensyaratkan adanya sistem one man one vote.
Hal ini tidak hanya berlaku bagi Papua, tetapi juga di banyak Negara, seperti
di beberapa negara Afrika. Sabah dan Serawak juga masuk Malaysia
tanpa one man one vote, tapi hanya lewat sertifikasi Tim PBB.
Selain itu, alasan etnisitas orang
Papua yang termasuk etnis Melanesia (dinilai berbeda dengan etnis orang
Indonesia) juga dijadikan alat untuk menjustifikasikan pemisahan Papua dari
Indonesia. Padahal kita tahu didunia ini tidak ada satu pun bangsa dan negara
yang sepenuhnya memiliki homogenitas etnis dan kultural. Sehingga ciri-ciri
fisik yang berbeda dari suku-suku bangsa Indonesia lainnya, tidak bisa
dijadikan tesis bahwa orang Papua secara alamiah bukan orang Indonesia, dan
karena itu berhak untuk merdeka.
Apalagi Negara Indonesia menganut semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang
berarti“Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Nasionalisme Indonesia
pada dasarnya juga bercirikancivic nationalism dan bukannya ethnic
nationalism. Dalam pengertian ini, maka civic
nationalism juga berlaku di berbagai Negara dunia, di mana keanekaragaman masyarakat dari segi budaya,
warna kulit, agama, latar belakang sejarah, bahkan
keyakinan politik sekalipun, tidak menghalangi mereka untuk hidup bersama
sebagai satu bangsa.
Sebagai bangsa yang besar dan masih dalam proses pembangunan, menuju
kehidupan yang lebih baik, harus diakui bahwa Negara kita masih dihadapkan dengan
berbagai persoalan, termasuk kesenjangan. Bukan hanya rakyat
dan Provinsi Papua saja yang menghadapi sejumlah persoalan, tetapi juga di
provinsi-provinsi Indonesia lainnya. Oleh
sebab itu, yang penting sebagai sesama anak bangsa, kita harus optimis dan
bersatu untuk mampu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa secara adil,
bermartabat, dan tetap dalam bingkai NKRI. Kita
harus mampu menjadi bagian dari solusi, bukan justru menambah beban
permasalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar